Nama Kitab :Syarah matan Abu Syuja’
Kategori : Kitab fikih madzhab imam Asy Syafi’I
rohimahullah
Muallif : Muhammad bin Hasan
Abdul Ghoffar rohimahullah
Penerjemah : Hindra Kurniawan
Situs Asli :www.islamweb.net
Part :Fiveteen
Bismillahirrohmanirrohim,
alhamdulillahirobbil’alamin, washallallah ‘ala nabiyyina muhammadin, waalihi
waashhabihi ajma’in amma ba’du.
MACAM-MACAM AIR
MUSTA’MAL DAN PENDAPAT PARA ULAMA’ TENTANGNYA
Macam-macam air
musta’mal (air yang telah dipakai):
1)PERTAMA AIR YANG
DIGUNAKAN UNTUK MENGHILANGKAN NAJIS
karena bersuci secara
nyata (hissi) ada dua: 1)bersuci menghilangkan najis dan 2)menghilangkan
hadats, oleh karena itu disebutkan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah
rodliallahu’anhu dalam kitab Assohih berkata: Rosulullah shallallahu’alaihi
wasallam pergi ke antara pepohonan-menjauh- dan nabi shallallahu’alaihi
wasallam jika hendak buang hajat beliau menjauh dan membuang hajatnya, maka aku
mendekatinya dengan membawa segayung air, dan beliau beristinja’ dengannya,
kemudian berwudlu dan mengusap dua khufnya. Maka istinja’ dengan air berarti
menggunakan air dan disebut AL-ISTITOBAH.
Adapun yang pertama air
yang digunakan untuk menghilangkan najis itu para ulama’ sepakat air tersebut
menjadi najis, tidak boleh bersuci dan menggunakannya dan dalilnya adalah: itu adalah air yang sedikit (kurang
dari dua qullah) yang terkena najis, sama saja berubah (sifat) ataupun tidak
dan ini pendapat madzhab (asysyafi’i) dan (sekaligus) yang ROJIH. Dan KESIMPULANNYA
air yang digunakan untuk menghilangkan najis sifatnya tidak suci pada dirinya,
juga tidak bisa mensucikan lainnya.
B)KEDUA AIR YANG
DIPAKAI UNTUK MENGHILANGKAN HADATS
Adapun yang kedua AIR
MUSTA’MAL (air yang digunakan untuk menghilangkan hadats) terjadi perbedaan
pendapat (para ulama’) tentangnya, dengan syarat: 1) terpisah dari anggota
dan syarat yang lain 2)digunakan untuk menghilangkan hadats wajib bukan hadats sunah. Dan telah kita terangkan bahwa kita katakan rojihnya pendapat yang pertama atau syarat yang pertama. Dan masalah ini dalam madzhab (imam asy syafi’I rohimahullah) ada dua Qoul, dan sebelum saya masuk dalam masalah ini (perlu saya jelaskan) jika para ulama syafi’iyyah berkata
dan syarat yang lain 2)digunakan untuk menghilangkan hadats wajib bukan hadats sunah. Dan telah kita terangkan bahwa kita katakan rojihnya pendapat yang pertama atau syarat yang pertama. Dan masalah ini dalam madzhab (imam asy syafi’I rohimahullah) ada dua Qoul, dan sebelum saya masuk dalam masalah ini (perlu saya jelaskan) jika para ulama syafi’iyyah berkata
في المسألة قولان
Ini artinya dua
perkataan imam madzhab, dan jika mereka mengatakan
في المسألة وجهان
Ini artinya takhrij
(penelaahan) para sahabat (imam syafi’i) terhadap perkataan imam asysyafi’I
rohimahullah, dan hal ini tidak berarti perkataan imam asy-syafi’I,dan (meskipun)
mereka menggunakan pondasi dasar imam asy-syafi’I (dalam penelaahan) dan
(terkadang mereka) keluar dari beliau dalam (kesimpulan) sebuah pendapat.
Jadi dalam masalah ini
ada dua qoul yang dinukil dari imam asy-syafi’I:
1)Qoul pertama: tidak
adanya (hukum tohur) pada air (tersebut) karena peniadaan TOHURIYAH maka dia
(menjadi TOHIR) suci pada dirinya dan tidak bisa mensucikan lainnya, dan imam
An-Nawawi rohimahullah merojihkannya.
2)Qoul yang kedua: Abu
Tsaur rohimahullah (termasuk dari sahabat imam asy-syafi’I rohimahullah)
berkata: yang benar adalah pendapatnya imam asy-syafi’I Rohimahullah bahwa air
tersebut: suci mensucikan dan ditinggalkan dalam rangka ibadah (TA’ABBUDIYYAH),
dan imam arrofi’I rohimahullah merojihkannya.
Dan dalil dari kedua Qoul adalah sebagai berikut:
1)Qoul pertama (bahwa
air must’mal itu suci tidak mensucikan) mempunyai dalil dari atsar dan nadzor
(akal/istimbath), adapun dari atsar mereka berdalil dengan hadits dalam sunan
abu daud bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam
(نهى أن يتوضأ الرجل بفضل طهور المرأة)0
Melarang laki-laki
berwudlu dengan air bekas wudlu perempuan.
(tentang hadits ini)
sebagian ulama’ merojihkannya dan sebagian yang lain mendoifkannya.
Mereka mengatakan:
kita semua sepakat
bahwa air yang tersisa di wadah dari bekas bersucinya perempuan, BOLEH bagi
seseorang untuk berwudlu dengannya dan (boleh) menggunakannya, karena itu bukan
air musta’mal dan tidak terpisah dari kumpulan, dan tersisa bagi kami 1)sebuah
hadits tentang pelarangan nabi shallallahu’alaihi wasallam dari bersuci dan
berwudlu dengan bekas air bersucinya perempuan, maka kita katakan: penjelasan
hadits (pelarangan nabi shallallahu’alaihi wasallam dari bersuci dan
berwudlu dengan bekas air bersucinya
perempuan tersebut) dikategorikan air musta’mal (SUCI TIDAK MENSUCIKAN). 2)Dan (dalil lain) yang mereka
gunakan juga adalah hadits abu hurairiah rodliallahu’anhu dalam assohih nabi
shallallahu’alalihi waallam bersabda:
(لا يغتسل أحدكم في الماء الدائم وهو جنب)
Janganlah kalian mandi
(dengan mencebur) di air yang menggenang (tidak mengalir) dalam keadaan junub
Penjelasan hadits:
bahwa air ini tidak menjadi najis dengan digunakan untuk mandi di dalamnya,
maka kalau orang junub menceburkan badannya ke sumur maka (air sumur) itu bisa
mengangkat hadats besar darinya, dan airnya tidak menjadi najis dengan hal
tersebut. Mereka berkata:
Pelarangan nabi
shallallahu’alaihi wasallam di sini menjelaskan bahwa air menjadi MUSTA’MAL, dan datang seorang mukallaf (orang yang
terbebani hukum) dan ingin menggunakan air, dan dia mengetahui bahwa orang lain
telah menggunakannya, TIDAK SAH baginya
untuk menggunakannya, karena sifat mensucikannya telah berubah dengan pemakaian
(pertama).
ADAPUN dalil dari
(istimbath/akal): adalah qiyas pada air yang kami telah sepakat tentangnya,
karena di sana ada kaidah dari para ulama menyebutkan:
عند التنازع نرد المختلف فيه إلى المتفق عليه،
ونحن معاشر الشافعية متفقون على أن الماء الذي استعمل في إزالة النجاسة نجس، فعند
ذلك نقيس هذا الماء على الماء المستعمل في إزالة النجاسة، فبالقياس ينبني لنا أن
هذا الماء لا يصح استعماله.
Dalam masalah yang
terjadi perselisihan maka kita kembalikan pada pendapat yang disepakati, dan
kami para ulama’ syafi’iyyah sepakat bahwa air yang telah digunakan untuk
menghilangkan najis (hukumnya menjadi) najis, dan oleh karena itu kita MENGQIYASKAN
air ini dengan air yang telah digunakan untuk menghilangkan najis, maka dengan
qiyas dibangun (hukum) bagi kami bahwa
air ini TIDAK BOLEH digunakan (lagi untuk bersuci).
2)QOUL KEDUA (bahwa air
musta’mal itu suci mensucikan dan ditinggalkan dalam rangka ibadah) mereka mempunyai dalil dari atsar dan
(istimbath/akal). Adapun atsar dari firman Allah ta’ala:
{وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا} [الفرقان:48]
{وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا} [الفرقان:48]
dan Kami
turunkan dari langit air yang amat bersih (suci mensucikan)
Mereka mengatakan:
tafsir kata الطهور nabi shallallahu’alaihi wasallam
menjelaskan dengan sabdanya:
(الماء طهور لا ينجسه شيء إلا ما غيَّر طعمه أو لونه أو ريحه)
Air itu tidak ada
sesuatupun yang bisa membuatnya najis kecuali sesuatu yang bisa merubah rasa
warna dan baunya.
Dan tambahan ini(kecuali
sesuatu yang bisa merubah rasa warna dan baunya)
(para ulama telah sepakat/ijma’) atasnya
sebagaimana yang kami sebutkan, air ini tidak berubah darinya salah satu dari
tiga sifat, dan tidak berubah sifat TOHURIYAHNY Dari sifat suci mensucikannya,
dan tidak ada sesuatupun yang (bisa merubahnya) merubahnya.
Mereka juga berdalil
dengan hadits bahwa nabi shallallahu’alaihi wasallam ketika mendatangi maimunah
rodliallahu’anha, dan ada sisa air bekas digunakan oleh nya, dan rosulullah
shallallahu’alaihi wasallam ingin menggunakannya, maka Maimunah berkata: ya
rosulallah sesungguhnya aku junub yakni: aku menggunakan air ini untuk mandi
junub, rosulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: (سبحان الله! إن الماء لا يجنب)
Subhanallah,
sesungguhnya air itu tidaklah menjadi junub,
Dan ini menunjukkan
dalil bahwa air itu tetap dalam asal penciptaannya (suci mensucikan)..
وأما دليلهم من النظر: فقالوا: نحن وأنتم متفقون
على أن الماء الطهور: هو الماء الذي بقي على أصل خلقته، فلم يتغير منه طعم أو لون
أو رائحة، وهذا الماء قد بقي على أصل خلقته، ولم نر فيه تغييراً في الطعم ولا في
اللون ولا في الرائحة، فهذه أدلة من الأثر والنظر تبين لنا أن الماء المستعمل لم
تسلب طهوريته، فلما قال ذلك الرافعي، اعترض النووي، وقال: أنت وأنا نتفق على المنع
من استعماله،
Adapun dalil dari akal/
istimbath mereka berkata: kami dan kalian bersepakat bahwa air itu suci
mensucikan: adalah air yang tetap pada kondisi asal penciptaannya, dan tidak
berubah rasanya atau warnanya atau baunya, dan air ini (kita tahu dia) tetap
pada kondisi asal penciptaannya, dan kita tidak melihat perubahan pada rasa
warna dan bau, dalil-dalil dari atsar dan nadzor ini, menjadi jelas bagi kita
bahwa air yang telah dipakai tidak berubah sifat TOHURIYAHNYA maka ketika imam
Arrofi’I rohimahullah mengatakannya, imam AnNawawi rohimahullah membantahnya
dan berkata:
أنت وأنا نتفق على المنع من استعماله، فلم تمنع
من استعماله مع أنك قلت بطهوريته؟
Kamu dan aku sepakat
tentang larangan menggunakannya (air musta’mal) maka kamu mengapa melarang
menggunakannya sedangkan kamu mengatakan air itu tetap suci mensucikan?
Imam arrofi’I
rohimahullah menjawab:
قلت ذلك تعبداً،
Aku mengatakan itu
adalah untuk ta’abbud (beribadah)
AnNawawi rohimahullah
berkata: aku mendapatimu dengan berpendapat (air musta’mal tersebut) tetap suci
mensucikannya (tidak berubah sifat Tohuriyahnya) dan berkata padanya (seperti
itu) bagaimana bisa begitu?
Beliau (imam Arrofi’I
rohimahullah) menjawab: sesungguhnya para sahabat rosulullah shallallahu’alaihi
wasallam ketika pergi bersafar dan mereka membawa air, mereka berwudlu
(dengannya pada awalnya) maka ketika butuh air untuk minum atau yang lainnya
mereka (kemudian memilih bersuci dengan) bertayamum, dan tidak mengumpulkan air
yang tersisa dari air yang telah dipakai (musta’mal) dalam kesucian (sifat) nya
(suci pada dirinya). Hal ini menunjukkan andai (air tersebut) suci mensucikan
niscaya para sahabat rosulullah shallallahu’alaihi wasallam akan melakukannya
dan (ternyata mereka) tidak melakukannya,
Dan imam Arrofi’I rohimahullah
(melanjutkan) berkata kepadanya: apakah kamu mengharuskan aku untuk
mengeluarkan hujah? Dan aku sepakat dengan mu bahwa para sahabat
rodliallahu’anhum mereka berwudlu dan tidak mengumpulkan air (musta’mal) ini
untuk menggunakannya yang kedua kali bukan karena tidak adanya TOHURIYYAH (sifat
suci mensucikan), akan tetapi dalam rangkan Ta’abbud (ibadah) atau Istiqdzar (menganggap
kotor karena telah dipakai) dan ini pendapat para ulama’ Malikiyyah
rohimahumullah.
والخلاصة: أن الراجح والصحيح: أن الماء المستعمل
لرفع حدث باق على أصل خلقته، وهو على الطهورية، فلم تسلب الطهورية منه، وهو الراجح
من المذهب، لكنه لم يستعمل إما استقذاراً وإما تعبداً.
وأما الرد على ما استدل به الفريق الأول فإننا نقول: أما الحديث الذي استدلوا به (أنه صلى الله عليه وسلم: نهى الرجل أن يتوضأ بفضل طهور المرأة)، فهو حديث متكلم فيه، أي: حديث ضعيف
وأما الرد على ما استدل به الفريق الأول فإننا نقول: أما الحديث الذي استدلوا به (أنه صلى الله عليه وسلم: نهى الرجل أن يتوضأ بفضل طهور المرأة)، فهو حديث متكلم فيه، أي: حديث ضعيف
KESIMPULAN: yang rojih
dan sohih: bahwa air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats tetap pada
kondisi penciptaannya yaitu TOHURIYAH (suci mensucikan) dan tidak berubah sifat
tohuriyyah darinya, dan ini yang ROJIH dari
madzhab (imam Asy-Syafi’i), akan tetapi air tersebut tidak menjadi musta’mal
adakalanya dalam rangka ta’abbudan au istiqdzaron (dalam rangka ibadah atau
menganggap kotor).
Adapun bantahan
terhadap para ulama yang berpendapat
dengan QOUL PERTAMA (bahwa air must’mal itu suci tidak mensucikan) maka kita berpendapat: adapun hadits yang
mereka gunakan untuk berdalil bahwa Rosulullah shallallahu’alaihi wasallam
نهى الرجل أن يتوضأ بفضل طهور المرأة
melarang laki-laki
berwudlu dengan air bekas bersucinya perempuan
Ini adalah hadits yang
tak lepas dari kritikan atau doif, dan imam AnNawawi rohimahullah telah
mensohihkannya, dan terhadap pendapat yang mensohihkannya kami mempunyai
kritikan yaitu: bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam Mencegah laki-laki
berwudlu dengan air bekas bersucinya perempuan kita katakan:
إن هذا النهي هو للاستحباب، وليس للوجوب،
Sesungguhnya larangan
ini untuk KESUNATAN bukan KEHARAMAN, dan illatnya (akar masalahnya) ada pada
AL-ISTIQDZAR (anggapan kotor) sehingga manusia ketika melihat wanita berwudlu
di depannya (dia akan) merasa jijik untuk
menggunakan air yang jatuh dari anggota badannya tersebut, maka larangan ini
bukan berarti berubah Tohuriyahnya (sifat suci mensucikannya) akan tetapi dalam
rangka TA’ABBUD DAN ISTIQDZAR (beribadah dan merasa jijik karena menganggap
kotor) , (penjelasan berikutnya) jika kami (harus) mengatakan (bahwa hadits ini
adalah) sohih, maka (hadias tersebut
bertentangan dengan perbuatan beliau shallallahu’alaihi wasallam karena) sesunguhnya
nabi shallallahu’alaihi wasallam sungguh telah mengambil (menggunakan) air
bekas bersucinya Maimunah rodliallahu’anha, dan beliau shallallahu’alaihi
wasallam mandi dengan air tersebut, maka menjadi BATAL lah pendalilan dengan
hadits tadi, karena nabi shallallahu’alaihi wasallam telah menggunakan air yang
telah digunakan Maimunah rodliallahu’nha.
والحديث عام في المتبقي من الماء وفي المستعمل،
ولا يوجد دليل على الخصوصية، ومن زعم ذلك فعليه بالدليل، وأما بالنسبة للحديث
الصحيح، (أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يغتسل الجنب في الماء الدائم)،
Dan hadits tersebut bersifat
UMUM bagi (setiap air) yang tersisa dari
air yang telah dipakai (musta’mal), dan tidak ada dalil tentang kekhususannya,
dan barang siapa yang mengira demikian (adanya air musta’mal) maka dia wajib
menunjukkan dalil.
Adapun tentang hadits
sohih:
(أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يغتسل الجنب في الماء الدائم)
Bahwa nabi
shallallahu’alaihi wasallam mencegah
seseorang mandi junub (mencebur) para air yang diam (tidak mengalir).
Terhadap orang yang
berpendapat dengan QOUL PERTAMA kita bantah: kita setuju dengan mu tentang
pelarangan ini akan tetapi kita tidak setuju dengan mu dalam pendalilanmu
terhadap larangan ini, bahwa sesungguhnya air akan menjadi musta’mal setelah
digunakan, akan tetapi (yang benar) TIDAK MENJADI MUSTA’MAL sebab digunakan.
Walau menjadi musta’mal (telah dipakai) akan tetapi TIDAK TERPENGARUH
TOHURIYAHNYA (sifat suci mensucikannya.
فإن النبي صلى الله عليه
وسلم إنما نهى عن ذلك سداً للذريعة، حتى لا يأتي المكلف فينظر إليك، فيجدك قد وقعت
أو غصت في هذا الماء، فيستقذر الماء فلا يستعمله، وأيضاً لا يوجد دليل صريح عن
النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (لا تغتسل في الماء الدائم وأنت جنب؛ لأنه
سيصير مستعملاً فيسلب طهوريته، بل إن الماء إذا وقع فيه أحد، ثم خرج منه، فإنه لم
يتغير منه أحد أوصافه الثلاثة،
(alasan kami:)
1)Karena sesungguhnya
Nabi shallallahu’alaihi wasallam ketika mencegah hal tersebut adalah untuk
SADDI DZARO I’ (dalam rangka menutup pintu peluang masuknya suatu keburukan),
sehingga seorang mukallaf tidak datang dan memperhatikanmu, dan mendapatimu
menggunaka air dan mengotorinya (sebab kamu memakai) air tersebut, (sehingga
orang tadi) merasa jijik (karena menganggap kotor) dan tidak (mau untuk) menggunakannya,
2)dan juga (karena) tidak
terdapat dalil yang sorih dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau
bersabda: jangan kamu mandi pada air yang diam sedangkan kamu dalam keadaan
junub, karena air akan menjadi musta’mal,(meskipun musta’mal tetapi) kondisinya tetap pada Tohuriyahnya, tetapi air
apabila telah dipakai oleh seeorang (menceburnya) kemudian keluar darinya, jika
tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya
Maka hal ini
menunjukkan bahwa air ini (sifatnya) sama dengan asal penciptaannya (yaitu suci
mensucikan), dan ini adalah sebagai bantahan kepada mereka dari atsar.
Adapun bantahan dari
segi Nadzor (akal/istimbath): bahwa mereka mengkiaskan air yang dipakai untuk
menghilangkan najis dengan air yang digunakan untuk bersuci (berwudlu) maka
kita bantah: ini adalah qiyas yang FASID (rusak/keliru) karena dia adalah QIYAS
MA’AL FARIQ (qiyas dengan sesuatu yang berbeda).
وهذه قوادح في العلة،
والأصل هنا لا يساوي الفرع في العلة، فلا يمكن أن تقيس؛ لأن الأصل لا يساوي الفرع؛
لعدم المطابقة بينهما فالماء الذي استعمل لإزالة النجاسة قد لاقى نجساً، أما الآخر
فقد لاقى محلاً طاهراً.
Dan pokok kesalahan masalah
di sini adalah tidak samanya permasalahan antara pokok/asal dengan cabang, yang
tidak mungkin untuk diqiyaskan, karena pokok/asal tidak sama dengan cabang,
karena tidak adanya kecocokan diantara keduanya, air yang digunakan untuk
menghilangkan najis telah menjadi najis,sedangkan yang lain (air digunakan untuk
berwudlu/menghilangkan hadats) masih dalam keadaan suci.
Dari situ (jelas)
perbedaan keadaan, yang pertama keadaan NAJIS dan yang kedua SUCI, makaTIDAK
BISA mengkiaskan keadaan suci dengan keadaan najis
Adapun pendalilan bahwa
para sahabat rodliallahu’anhum tidak menggunakan air ini maka kita bantah:
penjelasanmu bahwa setelah para sahabat (tiak) menggunakan air yang tersisa ini
dalam safar (karena berubahnya tohuriyyah), ini penjelasan yang tidak tepat.
Penjelasan yang tepat adalah bahwa pada dalil ini ada dua penjelasan: yang
pertama: bahwa air ini jumlahnya sedikit yang tidak mungkin untuk dikumpulkan lagi
karena berjatuhan pada tanah, dan (kedua) tidak tersisa darinya air yang banyak
yang memungkinkan untuk bersuci dengannya.
(kita perumpakan) Misalnya:
kalau saja seseorang berada di padang pasir dan dia membawa setoples air, dan
dia meminum separuhnya, kemudian dia membawa yang separuhnya dan berkata (pada
dirinya): apakah aku ingin berwudlu (dengannnya), kemudian dia berwudlu
menghabiskan banyak air, sehingga airnya berkurang banyak (karena) berjatuhan
pada kerikil yang tidak mungkin untuk mengumpulkannya untuk berwudlu lagi,
(maka bagaimana pendapatmu apakah sesorang tersebut akan berwudlu atau
bertayamum)?
Penjelasan ke dua:
bahwa air yang telah dipakai menjadi dianggap kotor dan mersa jijik untuk
menggunakannaya.
KESIMPULANNYA
Bahwa air yang telah
dipakai untuk bersuci menghilangkan hadats, sifatnya sesuai dengan kondisi
ketika diciptakan (mutlak/suci mensucikan) tidak berubah darinya rasa, warna
dan baunya, sesuai dengan KEUMUMAN sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam:
(الماء طهور لا ينجسه شيء)
Air (mutlak) itu suci
mensucikan tidak ada sesuatu pun yang bisa membuatnya najis
If you want to read
part fourteen please go to this site…
Allahummanfa’na ma
‘allam tana wa’allimna ma yanfa’una robbi zidna ‘ilma, wala taj’al liddunya
akbaro hammina.
Washallallah ‘ala
nabiyyina Muhammad walhamdulillahirobbil ‘alamin
Insya Allah Tobe
continue part sixteen
1)ada berapa air yang
telah dipakai (musta’mal)? Sebutkan!
2)bagaimana hukum air
yang telah dipakai untuk istinja’/istitobha (menghilangkan najis)? Sebutkan
dalilnya!
3)sebutkan dua syarat
air menjadi musta’mal menurut ulama’ syafi’iyyah!
4)apa maksud jika
ulama’ syafi’iyyah mengatakan: في المسألة قولان ?
5)apa maksud jika
ulama’ sayfi’iyyah mengatakan: في
المسألة وجهان ?
6)sebutkan dua qoul
tentang air musta’mal yang dinukil dari imam Asy-Syafi’I rohimahullah?
7)siapakah imam Abu
Tsaur?
8)sebutkan dua dalil
dari hadits bagi ulama’ yang berpendapat air musta’mal itu bersifat tohir
(bukan tohur)?
9) sebutkan dalil dari
akal/nadzor bagi ulama’ yang berpendapat air musta’mal itu bersifat tohir
(bukan tohur)?
10) sebutkan dalil dari
alquran dan hadits bagi ulama’ yang berpendapat air musta’mal itu bersifat
tohur tapi ditinggalkan dalam rangka beribadah (ta’abbudy)?
11) sebutkan dalil dari
akal/nadzor bagi ulama’ yang berpendapat air musta’mal itu bersifat tohur tapi
ditinggalkan dalam rangka beribadah (ta’abbudy)?
12) imam AnNawawi rohimahullah
membantahnya imam Arrofi’I rohimahullah dengan berkata:”Kamu dan aku sepakat
tentang larangan menggunakannya (air musta’mal) maka kamu mengapa melarang
menggunakannya sedangkan kamu mengatakan air itu tetap suci mensucikan?” .
pertanyaannya apakah
jawaban imam Arrofi’I terhadap bantahan di atas?
13)tentang air
musta’mal, imam An-nawawi dan imam Arrofi’I rohimahumallah sepakat dalam hal
apa? Dan berbeda dalam hal apa
14)sebutkan kesimpulan
yang rojih dan sohih tentang air musta’mal?
15)ulama’ yang
berpendapat bahwa air must’mal itu suci tidak mensucikan berhujjah dengan dalil
bahwa Rosulullah shallallahu’alaihi wasallam “melarang laki-laki berwudlu
dengan air bekas bersucinya perempuan” terangkan bantahan penulis terhadap
pendapat tersebut!
16) ulama’ yang
berpendapat bahwa air must’mal itu suci tidak mensucikan berhujjah dengan dalil
bahwa “nabi shallallahu’alaihi
wasallam mencegah seseorang mandi junub
(mencebur) para air yang diam (tidak mengalir)”. terangkan bantahan penulis
terhadap pendapat tersebut!
17) mengapa penulis
mempermasalahkan qiyas yang dijadikan hujjah ulama’ tentang berubahnya air
musta’mal dari tohur menjadi tohir?
18)tentang air
musta’mal pendapat manakah yang didukung penulis, imam An-nawawi atau imam
Ar-Rofi’i?
19)terjemahkan hadits
berikut ini:
(سبحان الله! إن الماء لا يجنب)
20) air satu gayung
digunakan untuk berwudlu dengan menceburkan tangan ke gayung tersebut, bolehkah
orang lain berwudlu dengan air yang sama pada sisa air tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar