menebar kesejukan islam

Senin, 18 Juli 2016

part eighteen matan abu syuja'


Nama Kitab     :Syarah matan Abu Syuja’
Kategori          : Kitab fikih madzhab imam Asy Syafi’I rohimahullah
Muallif                        : Muhammad bin Hasan Abdul Ghoffar rohimahullah
Penerjemah      : Hindra Kurniawan
Situs Asli         :www.islamweb.net
Part                  :eighteen

Bismillahirrohmanirrohim, alhamdulillahirobbil’alamin, washallallah ‘ala nabiyyina muhammadin, waalihi waashhabihi ajma’in amma ba’du.

PENDAPAT ULAMA’ SYAFI’IYYAH TENTANG AIR YANG TERKENA NAJIS DAN PENDAPAT PARA ULAMA’ YANG MENYELISIHINYA
Dan dalam salah satu pendapat tentang barang najis yang mengenai air tohur, seakan engkau berkata: jatuh setetes khomr --bagi ulama’ yang berpendapat najisnya khomer—pada air, maka menurut madzhab imam asy-syafi’I rohimahullah bahwa air jika terkena najis sama saja tempat air yang besar atau ember kecil, dan (jika) berubah sifat dari sifat rasa, warna atau bau, maka air menjadi najis dan ini adalah konsensus (ijma’), sebagaimana perkataan Ibnu Mundzir rohimahullah:
 “Para ulama’ telah sepakat bahwa air jika berubah salah satu sifatnya disebabkan terkena barang najis, maka menjadi najis, dan (hal ini) berdasarkan ijma’ bukan hadits, (karena) haditsnya dhoif yang tidak bisa digunakan untuk berdalil dalam keadaan apapun”


Adapun jika air (yang terkena najis) itu sedikit maka hal inilah tempat PERDEBATAN PANJANG secara makna: kalau misalnya anak kecil masuk ke bak mandi milik seseorang, dan ingin mandi (kemudian ternyata) dia buang air kecil di bak tadi, dan airnya tetap (tidak berubah) seperti sedia kala, dan orang (yang punya air tadi) masuk hendak mandi, dan dia tidak mempunyai air kecuali (yang di dalam bak) tersebut (sebagai simpanan), maka apakah sah mandi dengan air tersebut yang mana tidak berubah meskipun terkena najis?

-ulama’ madzhab syafi’I mengatakan: air yang sedikit jika terkena najis, baik berubah maupun tidak (hukumnya sama) yaitu MENJADI NAJIS, maksudnya TIDAK SAH menghilangkan hadats, dan menghilangkan najis dengannya, bahkan tidak boleh menggunakannaya dalam segala keadaan, dan wajib baginya menumpahkan air ini,  dan dalil mereka adalah: hadits ibnu umar rodliallahu’anhuma wa ardlohu berkata Rosulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
(إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث)
Jika air mencapai dua qullah maka tidak bisa terpengaruh kotoran
Mereka mengatakan: dalil ini dapat dipahami secara MANTUK (memahami dalil dari lafalnya/tersurat) DAN MAFHUM (memahami dalil bukan dari lafal/tersirat), yaitu jika air kurang dari dua qullah maka menjadi najis,(karena) dia tidak mampu menghilangkan najis dari   dirinya, maka jika kemasukan najis, najis tersebut akan dominan padanya dan bagian dari najis tersebut larut menyatu dengan bagian air sehingga hukumnya najis.        

Akan tetapi para ulama’ Hanafiyah sangat keras dalam menentang (pendapat syafi’iyyah ini) dan mengatakan: pendalilan secara MANTUQ yang kalian bersandar padanya itu kalian tidak mendapat bagian darinya baik unta betina maupun jantan (pendapatnya kalian tidak benar), sedangkan yang dimaksud sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam
(إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث) يعني: لم يتحمل، أي:
Jika air mencapai dua qullah maka tidak bisa terpengaruh kotoran
Adalah: tidak terpengaruh berarti: kalau mencapai dua qullah dan jatuh padanya barang najis, najis tersebut tidak mempengaruhinya dan (tidak) berbekas padanya dan (tidak) juga  pada barang najis nya (juga), maka bagaimana kalian (syafi’iyyah) bisa membedakan antara dua qullah dan yang lainnya (kurang dari dua qullah)?

Dan mereka menolak pendapat syafi’iyyah dalam masalah membedakan dua qullah, dan selain hal tersebut  (kurang dari dua qullah), mereka juga berpendapat dengan air sedikit dan air banyak. Akan tetapi mereka mengatakan
: إن هذا الماء لا يمكن أن يتحمل النجاسة، ولا يمكن أن تؤثر فيه
Sesunggunya air (yang banyak) ini tidak mungkin bisa terpengaruhi oleh najis, dan tidak mungkin najis tadi berbekas padanya

Kita (penulis) mengatakan kepada mereka (ulama’ hanafiyah): perkataan ini walaupun mengandung kemungkinan (benar) akan tetapi sangat lemah, dan kami mempunyai banyak dalil penguat yang kita pegang erat dengan gigi geraham: satu riwayat lain yang datang dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
 (إذا بلغ الماء قلتين لم ينجس)
Jika air mencapai dua qullah maka tidak terpengaruh najis
Dalil ini sangat jelas dalam kedudukan, dan ini adalah bantahan yang sangat telak bagi ulama’ hanafiyyah, dan hadits ditafsiri dengan hadits (yang lain), nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لم ينجس
tidak terpengaruh najis
maka perkataan ulama’ hanafiyyah “tidak terpengaruh kotoran” adalah perkataan yang salah, karena telah ditafsiri dengan hadits yang kedua, sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam (air yang mencapai dua qullah) tidak terpengaruh najis berarti tidak terpengaruh kotoran dan tidak berbekas najis padanya.

Mereka (ulama’ syafi’iyyah) mengatakan: dan dalil yang kedua dalam membedakan air sedikit dan banyak adalah hadits nabi shallallahu’alaihi wasallam:
(إذا استيقظ أحدكم من نومه فلا يضع يده في الإناء حتى يغسلهما أو حتى يغسلها ثلاثاً)
Jika kalian bangun tidur maka jangan menceburkan tangannya ke tempat air sampai membasuh keduanya atau membasuhnya tiga kali”
mereka mengatakan ini bukan dalam rangka beribadah (ta’abbud), akan tetapi itulah letak masalahnya (illat), dan titik permasalahannya adalah (lanjutan) sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam dengan memberikan petunjuk:

(لأنه لا يدري أين باتت يده)
Karena dia tidak mengetahui (kedua) tangannya kemana saja semalam
Dan ini adalah petunjuk dari nabi shallallahu’alaihi wasallam, bahwa pada hadits tersebut ada titik permasalahan (illat) yaitu: bahwa tangannya mungkin saja menyentuh bekas najis, karena dulu mereka bersuci dengan bebatuan, sehingga mengharuskan ada ‘ain (barang najis) dan bekas sisa (bersuci tadi) dan mungkin juga jari atau tangannya menggaruk garuk badan dan berbekas, atau seseorang berkeringat kemudian menyentuh najis

Dan (air) najis ini menjadi tidak Tohir, sehingga kalau dia meletakkan tangannya pada wadah yang mana airnya tidak banyak, yaitu air yang sedikit, jika dia meletakkan tangannya pada air yang sedikit maka akan merubah sifat dari sifat sifatnya,  maka bila meletakkan tangannya yang ada najisnya pada wadah air maka akan menjadikannya najis.

Jadi mereka mengatakan:sesungguhnya larangan nabi shallallahu’alaihi wasallam agar jangan meletakkan tangannya pada wadah sehingga membasuhnya tiga kali

Dengan menjelaskan titik permasalahan, atau petunjuk pada permasalahan pada akhir hadits: Karena dia tidak mengetahui (kedua) tangannya kemana saja semalam
Adalah menjunjukkan pembedaan air yang sedikit dan banyak, karena nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak bersabda TELAH MENCAPAI atau BELUM MENCAPAI atau TIDAK BERUBAH dalam sabda beliau ke tempat air  dan tempat air ini adalah petunjuk bahwa air itu adalah sedikit, dan nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak bersabda: jika berubah maka menjadi najis dan bila tidak berubah maka tidak najis, dan beliau shallallahu’alaihi wasallam tidak bersabda suatu perkataan, dan ini menjunjukkan bahwa hukum nya adalah satu SAMA SAJA BERUBAH ATAUPUN TIDAK.

Dan sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam:
Karena dia tidak mengetahui (kedua) tangannya kemana saja semalam
Di dalamnya ada petunjuk dari nabi  shallallahu’alaihi wasallam bahwa kalau tadi malam (tangannya) menyentuh pada tempat najis maka air tersebut menjadi najis, akan tetapi para ulama’ malikiyyah tidak mendapatkan dalil yang kuat untuk membantahnya kecuali mereka mengatakan: kami tidak setuju bahwa hadits tersebut terdapat titik permasalahan (seperti yang disebutkan syafi’iyyah) akan tetapi hadits ini hanya dalam rangka ibadah (bukan karena adanya najis), dan perbuatan ini adalah dalam rangka ibadah seperti shalat empat rakaat shalat dzuhur dan tiga rakaat pada maghrib.

Kita (penulis) katakan: kaidah dalam ulama’ kita mengatkan:
إذا دار الحكم على التعليل أو على التعبد وجب حمله على التعليل لا التعبد؛ لأن الله في أكثر من حكم يخاطب العقول
Jika hukum itu berkutat seputar akar masalah (ta’lil) atau dalam rangka peribadatan (ta’abbud) maka wajib mengartikannya sebagai ta’lil (menyebtukan akar masalah) bukan pada ta’abbaud (dalam rangka penyperibadatan) karena Allah ta’ala mengajak bicara akal dalam banyak ayat tentang hukum (seperti ayat):
(فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَارِ} [الحشر:2]
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.

Dan (contoh lain) sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam :
(رب حامل فقه إلى من هو أفقه منه، ورب حامل فقه ليس بفقيه)
Betapa banyak para penghafal fikih (hadits)  belajar kepada yang lebih fakih darinya dan betapa banyak para penghafal fikih (hadits) tetapi dia tidak fakih (tidak memahami apa yang dihafalnya)

Bahwa Allah ta’ala berbicara dengan akal dan menjelaskan akar masalah hukum, dan ini adalah hikmah dari Allah ta’ala untuk menambah keimanan (seorang hamba), maka jika suatu hadits tentang hukum itu berkisar antara ta’abbuad dan ta’lil maka wajib mengartikannya sebagai TA’LIL, ini adalah yang lebih utama dan lebih benar.

Apabila kita mengatakan kepada mereka:
Jika kamu mengatakan: (hadits di atas) diartikan dalam rangka ta’abbud, maka kita bantah: sungguh nabi shallallahu’alaihi wasallam telah menunjukkan (maknanya) kepada ta’lil ketika beliau bersabda:
Karena dia tidak mengetahui (kedua) tangannya kemana saja semalam
Mereka (ulama’ syafi’iyyah) mengatakan: dan ini adalah pembedaan antara air sedikit dan banyak.
Mereka (ulama’ syafi’iyyah) mengatakan: dalil ke tiga (tentang pembedaan air sedikit dan banyak) yaitu hadits
(إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم)
Jika seekor anjing menjilat perabot salah seorang kalian (piring dll)
Dalam satu riwayat beliau bersabda:
(فليرق هذا الماء لما يصيبه)
 maka tumpahkannlah air terebut karena sebab yang mengenainya (air liur anjing)

Perintah beliau) hendaklah menumpahkan air, padahal (pada asalnya) menyianyiakan air adalah dilarang, (sedangkan dalam hal ini diperbolehkan) karena air tersebut telah menjadi najis, dan nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak merinci: Jika seekor anjing menjilat perabot salah seorang kalian (piring dll) Sehingga berubah salah satu sifatnya dari sifat sifatnya maka tumpahkan lah airnya, atau (tidak) bersabda, jika tidak berubah salah satu sifatnya maka manfaatkanlah airnya dan gunakanlah, akan tetapi beliau bersabda tentangnya dengan MUTLAK, ini menunjukkan bahwa dua keadaan tersebut sama, dan bersabda:
Jika seekor anjing menjilat perabot salah seorang kalian (piring dll) maka tumpahkannlah air terebut  dan cucilah perabot tersebut tujuh kali dan sempurnakan ke delapan dengan tanah Atau bersabda: yang pertama dengan tanah, atau bersabda lengkapilah yang kedelapan dengan tanah atau akhirnya (dengan tanah)
dan pada hadits ini ada dalil bahwa air yang sedikit itu bisa terkena najis karena sebab dijilat anjing, dan ini adalah keterangan yang kuat bagi orang yang berpendapat (adanya) perbedaan air sedikit dan banyak.
.
(para ulama’ syafi’iyyah)Juga (berdalil dengan) hadits yang ke empat: yaitu hadis tentang kucing: (yaitu ketika pemilik kucing mendekati perabot, dan menantu perempuannya terkejut, maka dia berkata: jangan kamu terkejut wahai menantuku, sesungguhnya aku mendengar rosulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: sesungguhnya kucing jantan dan betina adalah hewan yang suka berada di sekitar kalian, maksudnya dia tidaklah najis, dan ini adalah dalil yang DHOHIR (mantuq), jadi, tersisa (yang belum dijelaskan) adalah MAFHUM MUKHOLAFAH (pemahaman antonym yang diambil dari sebuah hadits) seandainya kucing itu najis, niscaya bermain dengan kucing itu juga najis, kalau najis niscaya perabot menjadi najis pula, dan ini juga dalil yang sangat jelas bagi mereka bahwa ada pembedaan antara air sedikit dan banyak.

Dan ada sebagian kelompok ulama’ hanafi yang berpendapat: kami membedakan (air sedikit dan banyak) sebagaimana kalian, akan tetapi kita tidak berpendapat persis seperti kalian, maka kita berpendapat: sesungguhnya pembatasan air sedikit dan banyak itu dengan gerakan air, maksudnya jika kita berada pada tepi sumur dan kita gerakkan tengah sumur dari sini, maka jika bergerak pada akhirnya maka air ini adalah sedikit, jika kejatuhan najis maka menjadi najis, akan tetapi jika tidak bergerak maka air ini adalah banyak, bila kejatuhan najis maka tidak menjadi najis.

Dan perbedaan ini kita tidak ingin masuk ke dalamnya sehingga menjadikan kalian ragu, dan membatasi pembahasan pada khilaf yang lebih kuat adalah lebih utama:

Adapun pendapat ulama’ malikiyyah tentangnya mereka mengutarakan dalil dalil mereka yang kuat dalam satu keadaan: mereka mengatakan

Kita tidak sepakat dengan pendapatmu, bahkan kalian lah yang berpendapat sesuai dengan pendapat kami. dan kami berharap ( pada kali pertamannya) imam asy syafi’I rohimahullah berpendapat dengan pendapat kami sebagaimana perkataan al ghozali:
تمنيت لو أنه رجع الشافعي إلى قول مالك في هذه المسألة،
Saya berharap (yang belum tentu terjadi) andai saja imam asy syafi’I  kembali pada pendapatnya imam malik dalam masalah (air) ini (niscaya akan lebih baik)

Dan tidaklah (alghozali rohimahullah) berpendapat demikian kecuali karena atsar yang kuat, penelitian yang cermat dalam masalah ini, dan dalil mereka (malikiyyah) yaitu sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits tentang SUMUR BIDHOAH, ketika mereka  bertanya kepada beliau: wahai rosulullah, sesungguhnya pada sumur bidhoah itu di buang di sana bangkai anjing, barang busuk dan darah haid atau mereka mengatakan banyak darah haid (lalau bagimana hukumnya)? Beliau bersabda:
الماء طهور لا ينجسه شيء)
Air mutlak itu adalah suci mensucikan (tohur) tidak ada sesuatupun yang bisa memembuatnya najis,
Maka air (al mau) adalah suatu nama jenis yang telah di ikat dengan huru alif dan lam (menjadi ma’rifat) (berarti) mutlak baik itu air sedikit maupun banyak

dan para ulama’ syafi’iyyah membantah mereka (malikiyyah) dengan mengatakan: perkataan nabi shallallahu’alaihi wasallam tentang air (tadi)tidak dalam arti UMUM, karena kisah ini membicarakan pada sumur yang mencapai dua qullah atau lebih, sebagaimana perkataan imam abu daud rohimahullah: sesungguhnya dia pernah mengelilingi sumur bidhoah dan melempar sarungnya yang luasnya: dalamnya satu dziro’ seperempat, panjangnya satu dziro’seperempat, dan lebarnya satu dziro’ seperempat*, dengan dasar itulah imam asy syafi’I rohimahullah membatasi dua qullah dengan 500 ritlin penduduk Iraq atau 5 qurbin

*keterangan tambahan dari penterjemah: (jika satu dziro’ adalah ukuran dari siku tangan sampai ujung jari, kurang lebih setara dengan 18 inchi, dan satu inchi setara dengan 2,54 cm, maka:
Satu seperempat dziro’ = 18+4,5 =22,5 inchi
Satu seperempat dziro’= 22,5   x  2,54 cm =57,15 cm, dibulatkan menjadi 60 cm.
Satu seperempat dziro’kubik = 60 x60 x60 =216000cm3 =216 liter)

Dan mereka mengatakan: hadits ini ada (hadits lain) yang mengkhusukannya, sementara para ulama’ malikiyyah membantah mereka dengan perkataan mereka:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Sisi pengambilan dalil adalah dari keumumam lafal bukan dari sebab yang khusus

Kami tidak mementingkan entah itu sumur bidhoah atau yang lainnya, karena nabi shallallahu’alaihi wasallam sungguh telah menyebutkan air secara umum, setiap air baik yang sedikit maupun yang banyak, dan kami dan kalian telah sepakat tentang  (hukum) air yang berubah rasa, warna dan baunya, dan ini adalah dalil yang pertama.

Adapun dalil yang kedua dari para ulama’ malikiyyah –dan yang ini lebih kuat dari yang pertama- dalam riwayat bukhori muslim dari sahabat abu hurairah rodlialallahu’anhu wa ardlohu berkata:

Ketika itu datang seorang arab badui (orang arab gunung yang kurang adab) masuk ke masjid dan buang air kecil di sudut masjid, para sahabat memahaminya untuk menghukumnya, dan seorang sahabat mendatanginya (hendak memperingatkannya) dan nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya: jangan kamu hardik dia, maksudnya: jangan kalian hentikan proses buang air seninya, takutlah kepada Allah, dan mereka adalah orang yang lemah lembut kepada para sahabatku, kemudian bersabda: guyurlah bekas air seninya dengan segayung air atu bersabda satu ember air.

Dan dzanub (ember) ini adalah suatu wadah yang di dalamnya berisi sedikit air, guyurlah dia degan segayung atau seember air. Mereka (malikiyyah) mengatakan ini adalah dalil yang sangat JELAS bahwa air yang sedikit jika beretemu dengan barang najis maka hukumnya adalah air yang suci kecuali jika berubah rasa, warna dan baunya, dan sisi pendalilan menurut para ulama’ malikiyyah adalah mereka mengatakan:

Maka sungguh nabi shallallahu’alaihi wasallam telah menghukumi dengan SUCINYA TEMPAT (yang ada air seni badui) dengan diguyur air yang jumlahnya sedikit padahal air seninya banyak, maka bertemunya air yang sedikit dengan air seni yang banyak, dan nabi shallallahu’alaihi wasallam menghukumi bahwa tempat tersebut telah menjadi suci, karena membolehkan mereka shalat setelah itu, maka ketika beliau menghukumi sucinya tempat tersebut ini adalah keterangan bahwa air yang sedikit (kurang dari dua qullah) jika tidak berubah sifat sifatnya dan bertemu dengan barang najis maka hukumnya tidak menjadi najis.

Dan para ulama’ malikiyyah membantah para ulama’ syafi’iyyah dalam hal ini dengan mengatakan: kamu berdalil dengan hadits jika air mencapai dua qullah pada pertama kalinya, dan ini adalah dalil terkuat kalian, maka bantahan pada kalian adalah dari dua wajah, wajah yang pertama: bahwa hadits ini adalah DHOIF….

BERSAMBUNG
Allahummanfa’na ma ‘allam tana wa’allimna ma yanfa’una robbi zidna ‘ilma, wala taj’al liddunya akbaro hammina.
Washallallah ‘ala nabiyyina Muhammad walhamdulillahirobbil ‘alamin
Insya Allah Tobe continue part nineteen


murojaah
1)air satu ember (kurang dari dua qullah) terkena air seni  dan berubah rasa bau dan warnanya, bagaimana hukumnya air tersebut menurut ijma’ para ulama’?
2) air satu ember (kurang dari dua qullah) terkena setetes air seni  dan tidak berubah rasa bau dan warnanya, bagaimana hukumnya air tersebut menurut ulama’ syafi’iyyah?
3)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika air mencapai dua qullah maka tidak bisa terpengaruh kotoran
Bagaimana ulama’ syafi’iyyah memahami dalil ini secara Mantuq dan mafhum?
4)dalam hal apa ulama’ hanafiyah membantah  ulama’ syafi’iyyah?
5)apakah ulama’ hanafiyah membedakan antara air sedikit dan banyak?
6)bagaimana pendapat ulama’ hanafiyyah terhadap air banyak?
7)bagaimana bantahan penulis terhadap pendapat hanafiyyah?
8)sebutkan dalil kedua dari ulama’ syafi’iyyah tentang dasar pembedaan air sedikit dan banyak! Sebutkan titik permasalahannya (illatnya)!
9) Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak bersabda TELAH MENCAPAI atau BELUM MENCAPAI atau TIDAK BERUBAH dalam sabda beliau ke tempat air  dan tempat air ini adalah petunjuk untuk apa?
10)Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak bersabda: jika berubah maka menjadi najis dan bila tidak berubah maka tidak najis, dan beliau shallallahu’alaihi wasallam tidak bersabda suatu perkataan, dan ini menjunjukkan bahwa hukum nya adalah apa?
11)ulama’ malikiyyah tidak mendapatkan dalil yang kuat untuk membantahnya (pendapat syafi’iyyah di atas kecuali mereka mengatakan apa?
12) Jika hukum itu berkutat seputar akar masalah (ta’lil) atau dalam rangka peribadatan (ta’abbud) maka wajib mengartikannya sebagai apa?
13) sebutkan dalil ketiga dari ulama’ syafi’iyyah tentang dasar pembedaan air sedikit dan banyak!
14) sebutkan dalil keempat dari ulama’ syafi’iyyah tentang dasar pembedaan air sedikit dan banyak!
15)dalam masalah apa alghozali rohimahullah berharap terhadap imam asy-syafi’i? sebutkan perkataan beliau tersebut!
16)sebutkan dalil pertama ulama’ malikiyyah  yang membantah adanya pembagian air sedikit dan banyak!
17)bagaimana bantahan ulama’ syafi’iyyah terhadap dalil pertama ulama’ malikiyyah tersebut!
18)darimana kamu tahu bahwa dua qullah itu setara dengan 216 liter?
19)ulama’ malikiyyah membantah ulama’ syafi’iyyah dengan kaidah fikih
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Sisi pengambilan dalil adalah dari keumumam lafal bukan dari sebab yang khusus
Jelaskan maksudnya!
20) sebutkan dalil kedua ulama’ malikiyyah  yang membantah adanya pembagian air sedikit dan banyak!









Tidak ada komentar:

Posting Komentar