Nama Kitab :Syarah matan Abu Syuja’
Kategori : Kitab fikih madzhab imam Asy Syafi’I
rohimahullah
Muallif : Muhammad bin Hasan
Abdul Ghoffar rohimahullah
Penerjemah : Hindra Kurniawan
Situs Asli :www.islamweb.net
Part :eighteen
Bismillahirrohmanirrohim,
alhamdulillahirobbil’alamin, washallallah ‘ala nabiyyina muhammadin, waalihi
waashhabihi ajma’in amma ba’du.
PENDAPAT ULAMA’
SYAFI’IYYAH TENTANG AIR YANG TERKENA NAJIS DAN PENDAPAT PARA ULAMA’ YANG
MENYELISIHINYA
Dan dalam salah satu pendapat tentang barang najis yang mengenai air tohur, seakan engkau berkata: jatuh setetes khomr --bagi ulama’ yang berpendapat najisnya khomer—pada air, maka menurut madzhab imam asy-syafi’I rohimahullah bahwa air jika terkena najis sama saja tempat air yang besar atau ember kecil, dan (jika) berubah sifat dari sifat rasa, warna atau bau, maka air menjadi najis dan ini adalah konsensus (ijma’), sebagaimana perkataan Ibnu Mundzir rohimahullah:
Dan dalam salah satu pendapat tentang barang najis yang mengenai air tohur, seakan engkau berkata: jatuh setetes khomr --bagi ulama’ yang berpendapat najisnya khomer—pada air, maka menurut madzhab imam asy-syafi’I rohimahullah bahwa air jika terkena najis sama saja tempat air yang besar atau ember kecil, dan (jika) berubah sifat dari sifat rasa, warna atau bau, maka air menjadi najis dan ini adalah konsensus (ijma’), sebagaimana perkataan Ibnu Mundzir rohimahullah:
“Para ulama’ telah sepakat bahwa air jika
berubah salah satu sifatnya disebabkan terkena barang najis, maka menjadi
najis, dan (hal ini) berdasarkan ijma’ bukan hadits, (karena) haditsnya dhoif
yang tidak bisa digunakan untuk berdalil dalam keadaan apapun”
Adapun jika air (yang
terkena najis) itu sedikit maka hal inilah tempat PERDEBATAN PANJANG secara
makna: kalau misalnya anak kecil masuk ke bak mandi milik seseorang, dan ingin
mandi (kemudian ternyata) dia buang air kecil di bak tadi, dan airnya tetap
(tidak berubah) seperti sedia kala, dan orang (yang punya air tadi) masuk
hendak mandi, dan dia tidak mempunyai air kecuali (yang di dalam bak) tersebut
(sebagai simpanan), maka apakah sah mandi dengan air tersebut yang mana tidak
berubah meskipun terkena najis?
-ulama’ madzhab syafi’I
mengatakan: air yang sedikit jika terkena najis, baik berubah maupun tidak
(hukumnya sama) yaitu MENJADI NAJIS, maksudnya TIDAK SAH menghilangkan hadats,
dan menghilangkan najis dengannya, bahkan tidak boleh menggunakannaya dalam
segala keadaan, dan wajib baginya menumpahkan air ini, dan dalil mereka adalah: hadits ibnu umar
rodliallahu’anhuma wa ardlohu berkata Rosulullah shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
(إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث)
Jika air mencapai dua
qullah maka tidak bisa terpengaruh kotoran
Mereka mengatakan:
dalil ini dapat dipahami secara MANTUK (memahami dalil dari lafalnya/tersurat) DAN
MAFHUM (memahami dalil bukan dari lafal/tersirat), yaitu jika air kurang dari
dua qullah maka menjadi najis,(karena) dia tidak mampu menghilangkan
najis dari dirinya, maka jika kemasukan
najis, najis tersebut akan dominan padanya dan bagian dari najis tersebut larut
menyatu dengan bagian air sehingga hukumnya najis.
Akan tetapi para ulama’
Hanafiyah sangat keras dalam menentang (pendapat syafi’iyyah ini) dan
mengatakan: pendalilan secara MANTUQ yang kalian bersandar padanya itu kalian
tidak mendapat bagian darinya baik unta betina maupun jantan (pendapatnya
kalian tidak benar), sedangkan yang dimaksud sabda nabi shallallahu’alaihi
wasallam
(إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث) يعني: لم يتحمل، أي:
Jika air mencapai dua
qullah maka tidak bisa terpengaruh kotoran
Adalah: tidak
terpengaruh berarti: kalau mencapai dua qullah dan jatuh padanya barang najis,
najis tersebut tidak mempengaruhinya dan (tidak) berbekas padanya dan (tidak) juga pada barang najis nya (juga), maka bagaimana
kalian (syafi’iyyah) bisa membedakan antara dua qullah dan yang lainnya (kurang
dari dua qullah)?
Dan mereka menolak
pendapat syafi’iyyah dalam masalah membedakan dua qullah, dan selain hal
tersebut (kurang dari dua qullah),
mereka juga berpendapat dengan air sedikit dan air banyak. Akan tetapi mereka
mengatakan
: إن هذا الماء لا يمكن أن يتحمل النجاسة، ولا يمكن أن تؤثر فيه
Sesunggunya air (yang
banyak) ini tidak mungkin bisa terpengaruhi oleh najis, dan tidak mungkin najis
tadi berbekas padanya
Kita (penulis) mengatakan
kepada mereka (ulama’ hanafiyah): perkataan ini walaupun mengandung kemungkinan
(benar) akan tetapi sangat lemah, dan kami mempunyai banyak dalil penguat yang
kita pegang erat dengan gigi geraham: satu riwayat lain yang datang dari Nabi
shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
(إذا بلغ الماء قلتين لم
ينجس)
Jika air mencapai dua
qullah maka tidak terpengaruh najis
Dalil ini sangat jelas
dalam kedudukan, dan ini adalah bantahan yang sangat telak bagi ulama’
hanafiyyah, dan hadits ditafsiri dengan hadits (yang lain), nabi shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
لم ينجس
tidak terpengaruh najis
maka perkataan ulama’
hanafiyyah “tidak terpengaruh kotoran” adalah perkataan yang salah, karena
telah ditafsiri dengan hadits yang kedua, sabda nabi shallallahu’alaihi
wasallam (air yang mencapai dua qullah) tidak terpengaruh najis berarti tidak
terpengaruh kotoran dan tidak berbekas najis padanya.
Mereka (ulama’
syafi’iyyah) mengatakan: dan dalil yang kedua dalam membedakan air sedikit dan
banyak adalah hadits nabi shallallahu’alaihi wasallam:
(إذا استيقظ أحدكم من نومه فلا يضع يده في الإناء حتى يغسلهما أو
حتى يغسلها ثلاثاً)
Jika kalian bangun
tidur maka jangan menceburkan tangannya ke tempat air sampai membasuh keduanya
atau membasuhnya tiga kali”
mereka mengatakan ini
bukan dalam rangka beribadah (ta’abbud), akan tetapi itulah letak masalahnya
(illat), dan titik permasalahannya adalah (lanjutan) sabda nabi
shallallahu’alaihi wasallam dengan memberikan petunjuk:
(لأنه لا يدري أين باتت يده)
Karena dia tidak
mengetahui (kedua) tangannya kemana saja semalam
Dan ini adalah petunjuk
dari nabi shallallahu’alaihi wasallam, bahwa pada hadits tersebut ada titik
permasalahan (illat) yaitu: bahwa tangannya mungkin saja menyentuh bekas najis,
karena dulu mereka bersuci dengan bebatuan, sehingga mengharuskan ada ‘ain (barang
najis) dan bekas sisa (bersuci tadi) dan mungkin juga jari atau tangannya
menggaruk garuk badan dan berbekas, atau seseorang berkeringat kemudian
menyentuh najis
Dan (air) najis ini
menjadi tidak Tohir, sehingga kalau dia meletakkan tangannya pada wadah yang
mana airnya tidak banyak, yaitu air yang sedikit, jika dia meletakkan tangannya
pada air yang sedikit maka akan merubah sifat dari sifat sifatnya, maka bila meletakkan tangannya yang ada
najisnya pada wadah air maka akan menjadikannya najis.
Jadi mereka
mengatakan:sesungguhnya larangan nabi shallallahu’alaihi wasallam agar jangan
meletakkan tangannya pada wadah sehingga membasuhnya tiga kali
Dengan menjelaskan
titik permasalahan, atau petunjuk pada permasalahan pada akhir hadits: Karena
dia tidak mengetahui (kedua) tangannya kemana saja semalam
Adalah menjunjukkan
pembedaan air yang sedikit dan banyak, karena nabi shallallahu’alaihi wasallam
tidak bersabda TELAH MENCAPAI atau BELUM MENCAPAI atau TIDAK BERUBAH dalam
sabda beliau ke tempat air dan
tempat air ini adalah petunjuk bahwa air itu adalah sedikit, dan nabi
shallallahu’alaihi wasallam tidak bersabda: jika berubah maka menjadi najis dan
bila tidak berubah maka tidak najis, dan beliau shallallahu’alaihi wasallam
tidak bersabda suatu perkataan, dan ini menjunjukkan bahwa hukum nya adalah
satu SAMA SAJA BERUBAH ATAUPUN TIDAK.
Dan sabda beliau
shallallahu’alaihi wasallam:
Karena dia tidak
mengetahui (kedua) tangannya kemana saja semalam
Di dalamnya ada
petunjuk dari nabi shallallahu’alaihi
wasallam bahwa kalau tadi malam (tangannya) menyentuh pada tempat najis maka
air tersebut menjadi najis, akan tetapi para ulama’ malikiyyah tidak
mendapatkan dalil yang kuat untuk membantahnya kecuali mereka mengatakan: kami
tidak setuju bahwa hadits tersebut terdapat titik permasalahan (seperti yang
disebutkan syafi’iyyah) akan tetapi hadits ini hanya dalam rangka ibadah (bukan
karena adanya najis), dan perbuatan ini adalah dalam rangka ibadah seperti
shalat empat rakaat shalat dzuhur dan tiga rakaat pada maghrib.
Kita (penulis) katakan:
kaidah dalam ulama’ kita mengatkan:
إذا دار الحكم على التعليل أو على التعبد وجب
حمله على التعليل لا التعبد؛ لأن الله في أكثر من حكم يخاطب العقول
Jika hukum itu berkutat
seputar akar masalah (ta’lil) atau dalam rangka peribadatan (ta’abbud) maka
wajib mengartikannya sebagai ta’lil (menyebtukan akar masalah) bukan pada
ta’abbaud (dalam rangka penyperibadatan) karena Allah ta’ala mengajak bicara
akal dalam banyak ayat tentang hukum (seperti ayat):
(فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَارِ} [الحشر:2]
Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
wawasan.
Dan (contoh lain) sabda
nabi shallallahu’alaihi wasallam :
(رب حامل فقه إلى من هو أفقه منه، ورب حامل فقه ليس بفقيه)
Betapa banyak para
penghafal fikih (hadits) belajar kepada
yang lebih fakih darinya dan betapa banyak para penghafal fikih (hadits) tetapi
dia tidak fakih (tidak memahami apa yang dihafalnya)
Bahwa Allah ta’ala
berbicara dengan akal dan menjelaskan akar masalah hukum, dan ini adalah hikmah
dari Allah ta’ala untuk menambah keimanan (seorang hamba), maka jika suatu
hadits tentang hukum itu berkisar antara ta’abbuad dan ta’lil maka wajib
mengartikannya sebagai TA’LIL, ini adalah yang lebih utama dan lebih benar.
Apabila kita mengatakan
kepada mereka:
Jika kamu mengatakan:
(hadits di atas) diartikan dalam rangka ta’abbud, maka kita bantah: sungguh
nabi shallallahu’alaihi wasallam telah menunjukkan (maknanya) kepada ta’lil
ketika beliau bersabda:
Karena dia tidak
mengetahui (kedua) tangannya kemana saja semalam
Mereka (ulama’
syafi’iyyah) mengatakan: dan ini adalah pembedaan antara air sedikit dan
banyak.
Mereka (ulama’
syafi’iyyah) mengatakan: dalil ke tiga (tentang pembedaan air sedikit dan
banyak) yaitu hadits
(إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم)
(إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم)
Jika seekor anjing
menjilat perabot salah seorang kalian (piring dll)
Dalam satu riwayat
beliau bersabda:
(فليرق هذا الماء لما يصيبه)
maka tumpahkannlah air terebut karena sebab
yang mengenainya (air liur anjing)
Perintah beliau)
hendaklah menumpahkan air, padahal (pada asalnya) menyianyiakan air adalah dilarang,
(sedangkan dalam hal ini diperbolehkan) karena air tersebut telah menjadi
najis, dan nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak merinci: Jika seekor
anjing menjilat perabot salah seorang kalian (piring dll) Sehingga berubah
salah satu sifatnya dari sifat sifatnya maka tumpahkan lah airnya, atau (tidak)
bersabda, jika tidak berubah salah satu sifatnya maka manfaatkanlah airnya dan
gunakanlah, akan tetapi beliau bersabda tentangnya dengan MUTLAK, ini
menunjukkan bahwa dua keadaan tersebut sama, dan bersabda:
Jika seekor anjing
menjilat perabot salah seorang kalian (piring dll) maka tumpahkannlah air
terebut dan cucilah perabot tersebut
tujuh kali dan sempurnakan ke delapan dengan tanah Atau bersabda: yang pertama dengan tanah, atau
bersabda lengkapilah yang kedelapan dengan tanah atau akhirnya
(dengan tanah)
dan pada hadits ini ada
dalil bahwa air yang sedikit itu bisa terkena najis karena sebab dijilat
anjing, dan ini adalah keterangan yang kuat bagi orang yang berpendapat
(adanya) perbedaan air sedikit dan banyak.
.
(para ulama’ syafi’iyyah)Juga (berdalil dengan) hadits yang ke empat: yaitu hadis tentang kucing: (yaitu ketika pemilik kucing mendekati perabot, dan menantu perempuannya terkejut, maka dia berkata: jangan kamu terkejut wahai menantuku, sesungguhnya aku mendengar rosulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: sesungguhnya kucing jantan dan betina adalah hewan yang suka berada di sekitar kalian, maksudnya dia tidaklah najis, dan ini adalah dalil yang DHOHIR (mantuq), jadi, tersisa (yang belum dijelaskan) adalah MAFHUM MUKHOLAFAH (pemahaman antonym yang diambil dari sebuah hadits) seandainya kucing itu najis, niscaya bermain dengan kucing itu juga najis, kalau najis niscaya perabot menjadi najis pula, dan ini juga dalil yang sangat jelas bagi mereka bahwa ada pembedaan antara air sedikit dan banyak.
(para ulama’ syafi’iyyah)Juga (berdalil dengan) hadits yang ke empat: yaitu hadis tentang kucing: (yaitu ketika pemilik kucing mendekati perabot, dan menantu perempuannya terkejut, maka dia berkata: jangan kamu terkejut wahai menantuku, sesungguhnya aku mendengar rosulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: sesungguhnya kucing jantan dan betina adalah hewan yang suka berada di sekitar kalian, maksudnya dia tidaklah najis, dan ini adalah dalil yang DHOHIR (mantuq), jadi, tersisa (yang belum dijelaskan) adalah MAFHUM MUKHOLAFAH (pemahaman antonym yang diambil dari sebuah hadits) seandainya kucing itu najis, niscaya bermain dengan kucing itu juga najis, kalau najis niscaya perabot menjadi najis pula, dan ini juga dalil yang sangat jelas bagi mereka bahwa ada pembedaan antara air sedikit dan banyak.
Dan ada sebagian kelompok ulama’ hanafi yang berpendapat: kami membedakan (air sedikit dan banyak) sebagaimana kalian, akan tetapi kita tidak berpendapat persis seperti kalian, maka kita berpendapat: sesungguhnya pembatasan air sedikit dan banyak itu dengan gerakan air, maksudnya jika kita berada pada tepi sumur dan kita gerakkan tengah sumur dari sini, maka jika bergerak pada akhirnya maka air ini adalah sedikit, jika kejatuhan najis maka menjadi najis, akan tetapi jika tidak bergerak maka air ini adalah banyak, bila kejatuhan najis maka tidak menjadi najis.
Dan perbedaan ini kita
tidak ingin masuk ke dalamnya sehingga menjadikan kalian ragu, dan membatasi
pembahasan pada khilaf yang lebih kuat adalah lebih utama:
Adapun pendapat ulama’
malikiyyah tentangnya mereka mengutarakan dalil dalil mereka yang kuat dalam
satu keadaan: mereka mengatakan
Kita tidak sepakat
dengan pendapatmu, bahkan kalian lah yang berpendapat sesuai dengan pendapat
kami. dan kami berharap ( pada kali pertamannya) imam asy syafi’I rohimahullah
berpendapat dengan pendapat kami sebagaimana perkataan al ghozali:
تمنيت لو أنه رجع الشافعي إلى قول مالك في هذه
المسألة،
Saya berharap (yang
belum tentu terjadi) andai saja imam asy syafi’I kembali pada pendapatnya imam malik dalam
masalah (air) ini (niscaya akan lebih baik)
Dan tidaklah (alghozali
rohimahullah) berpendapat demikian kecuali karena atsar yang kuat, penelitian
yang cermat dalam masalah ini, dan dalil mereka (malikiyyah) yaitu sabda nabi shallallahu’alaihi
wasallam dalam hadits tentang SUMUR BIDHOAH, ketika mereka bertanya kepada beliau: wahai rosulullah,
sesungguhnya pada sumur bidhoah itu di buang di sana bangkai anjing, barang
busuk dan darah haid atau mereka mengatakan banyak darah haid (lalau bagimana
hukumnya)? Beliau bersabda:
الماء طهور لا ينجسه شيء)
Air mutlak itu adalah
suci mensucikan (tohur) tidak ada sesuatupun yang bisa memembuatnya najis,
Maka air (al mau) adalah
suatu nama jenis yang telah di ikat dengan huru alif dan lam (menjadi ma’rifat)
(berarti) mutlak baik itu air sedikit maupun banyak
dan para ulama’
syafi’iyyah membantah mereka (malikiyyah) dengan mengatakan: perkataan nabi
shallallahu’alaihi wasallam tentang air (tadi)tidak dalam arti UMUM, karena
kisah ini membicarakan pada sumur yang mencapai dua qullah atau lebih,
sebagaimana perkataan imam abu daud rohimahullah: sesungguhnya dia pernah
mengelilingi sumur bidhoah dan melempar sarungnya yang luasnya: dalamnya satu
dziro’ seperempat, panjangnya satu dziro’seperempat, dan lebarnya satu dziro’
seperempat*, dengan dasar itulah imam asy syafi’I rohimahullah membatasi dua
qullah dengan 500 ritlin penduduk Iraq atau 5 qurbin
*keterangan tambahan
dari penterjemah: (jika satu dziro’ adalah ukuran dari siku tangan sampai ujung
jari, kurang lebih setara dengan 18 inchi, dan satu inchi setara dengan 2,54
cm, maka:
Satu seperempat dziro’
= 18+4,5 =22,5 inchi
Satu seperempat dziro’=
22,5 x
2,54 cm =57,15 cm, dibulatkan menjadi 60 cm.
Satu seperempat
dziro’kubik = 60 x60 x60 =216000cm3 =216 liter)
Dan mereka mengatakan:
hadits ini ada (hadits lain) yang mengkhusukannya, sementara para ulama’
malikiyyah membantah mereka dengan perkataan mereka:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Sisi pengambilan dalil
adalah dari keumumam lafal bukan dari sebab yang khusus
Kami tidak mementingkan
entah itu sumur bidhoah atau yang lainnya, karena nabi shallallahu’alaihi
wasallam sungguh telah menyebutkan air secara umum, setiap air baik yang sedikit
maupun yang banyak, dan kami dan kalian telah sepakat tentang (hukum) air yang berubah rasa, warna dan
baunya, dan ini adalah dalil yang pertama.
Adapun dalil yang kedua
dari para ulama’ malikiyyah –dan yang ini lebih kuat dari yang pertama- dalam
riwayat bukhori muslim dari sahabat abu hurairah rodlialallahu’anhu wa ardlohu
berkata:
Ketika itu datang
seorang arab badui (orang arab gunung yang kurang adab) masuk ke masjid dan
buang air kecil di sudut masjid, para sahabat memahaminya untuk menghukumnya,
dan seorang sahabat mendatanginya (hendak memperingatkannya) dan nabi
shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya: jangan kamu hardik dia,
maksudnya: jangan kalian hentikan proses buang air seninya, takutlah kepada
Allah, dan mereka adalah orang yang lemah lembut kepada para sahabatku,
kemudian bersabda: guyurlah bekas air seninya dengan segayung air atu
bersabda satu ember air.
Dan dzanub (ember) ini
adalah suatu wadah yang di dalamnya berisi sedikit air, guyurlah dia degan
segayung atau seember air. Mereka (malikiyyah) mengatakan ini adalah dalil yang
sangat JELAS bahwa air yang sedikit jika beretemu dengan barang najis maka
hukumnya adalah air yang suci kecuali jika berubah rasa, warna dan baunya, dan
sisi pendalilan menurut para ulama’ malikiyyah adalah mereka mengatakan:
Maka sungguh nabi
shallallahu’alaihi wasallam telah menghukumi dengan SUCINYA TEMPAT (yang ada
air seni badui) dengan diguyur air yang jumlahnya sedikit padahal air seninya
banyak, maka bertemunya air yang sedikit dengan air seni yang banyak, dan nabi
shallallahu’alaihi wasallam menghukumi bahwa tempat tersebut telah menjadi
suci, karena membolehkan mereka shalat setelah itu, maka ketika beliau
menghukumi sucinya tempat tersebut ini adalah keterangan bahwa air yang sedikit
(kurang dari dua qullah) jika tidak berubah sifat sifatnya dan bertemu dengan
barang najis maka hukumnya tidak menjadi najis.
Dan para ulama’
malikiyyah membantah para ulama’ syafi’iyyah dalam hal ini dengan mengatakan:
kamu berdalil dengan hadits jika air mencapai dua qullah pada pertama kalinya,
dan ini adalah dalil terkuat kalian, maka bantahan pada kalian adalah dari dua
wajah, wajah yang pertama: bahwa hadits ini adalah DHOIF….
BERSAMBUNG
Allahummanfa’na ma
‘allam tana wa’allimna ma yanfa’una robbi zidna ‘ilma, wala taj’al liddunya
akbaro hammina.
Washallallah ‘ala
nabiyyina Muhammad walhamdulillahirobbil ‘alamin
Insya Allah Tobe
continue part nineteen
murojaah
1)air satu ember
(kurang dari dua qullah) terkena air seni dan berubah rasa bau dan warnanya, bagaimana
hukumnya air tersebut menurut ijma’ para ulama’?
2) air satu ember
(kurang dari dua qullah) terkena setetes air seni dan tidak berubah rasa bau dan warnanya, bagaimana
hukumnya air tersebut menurut ulama’ syafi’iyyah?
3)Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: Jika air mencapai dua qullah maka tidak bisa
terpengaruh kotoran
Bagaimana ulama’
syafi’iyyah memahami dalil ini secara Mantuq dan mafhum?
4)dalam hal apa ulama’
hanafiyah membantah ulama’ syafi’iyyah?
5)apakah ulama’
hanafiyah membedakan antara air sedikit dan banyak?
6)bagaimana pendapat ulama’
hanafiyyah terhadap air banyak?
7)bagaimana bantahan
penulis terhadap pendapat hanafiyyah?
8)sebutkan dalil kedua
dari ulama’ syafi’iyyah tentang dasar pembedaan air sedikit dan banyak!
Sebutkan titik permasalahannya (illatnya)!
9) Nabi
shallallahu’alaihi wasallam tidak bersabda TELAH MENCAPAI atau BELUM MENCAPAI
atau TIDAK BERUBAH dalam sabda beliau ke tempat air dan tempat air ini adalah petunjuk untuk apa?
10)Nabi
shallallahu’alaihi wasallam tidak bersabda: jika berubah maka menjadi najis dan
bila tidak berubah maka tidak najis, dan beliau shallallahu’alaihi wasallam
tidak bersabda suatu perkataan, dan ini menjunjukkan bahwa hukum nya adalah
apa?
11)ulama’ malikiyyah tidak
mendapatkan dalil yang kuat untuk membantahnya (pendapat syafi’iyyah di atas kecuali
mereka mengatakan apa?
12) Jika hukum
itu berkutat seputar akar masalah (ta’lil) atau dalam rangka peribadatan
(ta’abbud) maka wajib mengartikannya sebagai apa?
13) sebutkan dalil
ketiga dari ulama’ syafi’iyyah tentang dasar pembedaan air sedikit dan banyak!
14) sebutkan dalil
keempat dari ulama’ syafi’iyyah tentang dasar pembedaan air sedikit dan banyak!
15)dalam masalah apa
alghozali rohimahullah berharap terhadap imam asy-syafi’i? sebutkan perkataan
beliau tersebut!
16)sebutkan dalil
pertama ulama’ malikiyyah yang membantah
adanya pembagian air sedikit dan banyak!
17)bagaimana bantahan
ulama’ syafi’iyyah terhadap dalil pertama ulama’ malikiyyah tersebut!
18)darimana kamu tahu
bahwa dua qullah itu setara dengan 216 liter?
19)ulama’ malikiyyah
membantah ulama’ syafi’iyyah dengan kaidah fikih
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Sisi pengambilan dalil
adalah dari keumumam lafal bukan dari sebab yang khusus
Jelaskan maksudnya!
20) sebutkan dalil
kedua ulama’ malikiyyah yang membantah
adanya pembagian air sedikit dan banyak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar